Apr 21, 2009

.....Ndeso bngett...

oleh : Ika S. Creech *)

Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan,
udik, shock culture, Countrified dan sejenisnya. Ketika mengalami
atau merasakan sesuatu yang baru dan sangat mengagumkan, maka ia
merasa takjub dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati dan
tidak ingin lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian ia
menganggap hanya dia atau hanya segelintir orang yang baru merasakan
dan mengalaminya. Maka ia mulai atraktif, memamerkan dan sekaligus
mengajak orang lain untuk turut merasakan dan menikmatinya, dengan
harapan orang yang diajak juga sama terkagum-kagum sama seperti dia.

Lebih dari itu ia berharap agar orang lain juga mendukung terhadap
langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa,
seperti saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi kita terus
berupaya untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain,
serta belajar bagaimana caranya tidak jadi orang norak, kampungan
alias deso.

Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali dekan
atau bahkan Rektorpun ada yang naik sepeda datang ke kampus.
Sementara si Pemilik perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen
yang sederhana. Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman
kepada pemerintah Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di
Narita. Dari Tokyo naik kendaraan umum, sementara yang akan
dijemput, pejabat Indonesia naik mobil dinas Kedutaan yaitu mercy
.

Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara ceremoni
dari jarak yang sangat dekat, dihadiri oleh pejabat setingkat
menteri, saya tertarik mengamati pada mobil yang mereka pakai Merk
Holden baru yang paling murah untuk ukuran Australia
. Yang menarik,
para pengawalnya tidak terlihat karena tidak berbeda penampilannya
dengan tamu-tamu, kalau tidak jeli mengamati kita tidak tahu mana
pengawalnya.
Di Sydney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand.
Dia seorang warga Negara Malaysia keturunan cina, sudah selesai S3,
sekarang lagi mengikuti program Post Doc, Dia anak serorang
pengusaha yang kaya raya.

Tidak mau menggunakan fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia
juga sebenarnya dapat beasiswa dari perguruan tingginya
.

Satu bulan saya di jepang tidak melihat orang pakai hp communicator,
mungkin kelemahan saya mengamati. Dan setelah saya baca Koran
ternyata konsumen terbesar hp communicator adalah Indonesia. Sempat
berkenalan juga dengan seorang yang berada di stasiun kereta di
Jepang, ternyata dia anak seorang pejabat tinggi Negara, juga naik
kereta. Yang tak kalah serunya saya juga jadi pengamat berbagai
jenis sepatu yang di pakai masyarakat jepang ternyata tak bermerek,
wah ini yang deso siapa yaa?

Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di jepang atau di
Australia, baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau
rumahnya. Kita baru bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah tahu
pekerjaan dan jabatanya di perusahaan. Jangan-jangan kalau orang
jepang diajak ke Pondok Indah bisa Pingsan melihat rumah segitu gede
dan mewahnya. Rata-rata rumah disana memiliki tinggi plafon yang
bisa dijambak dengan tangan hanya dengan melompat. Sehingga
duduknyapun banyak yang lesehan.


Sampai akhir hayatnya Rasulullah tidak membuat istana Negara dan
Benteng Pertahanan (khandaq hanyalah strategi sesaat, untuk perang
ahzab saja), padahal Rasulullah sudah sangat mengenal kemawahan
istana raja-raja Negara sekelilingnya, karena Beliau punya
pengalaman berdagang. Ternyata Beliau tidak menjadi silau terus ikut-
ikutan latah ingin seperti orang-orang. Lalu dimana aktivitas
kenegaraan dilakukan? Mengingat beliau sebagai kepala Negara.
Jawabannya ya di masjid.

Beliau punya banyak jalan yang legal untuk bisa membangun istana. Di
Mekkah nikah dengan janda kaya, di madinah jadi kepala Negara, punya
hak prerogative dalam mengatur harta rampasan perang dan ada jatah
dari Allah untuk dipergunakan sekehendak beliau, belum hadiah dari
raja-raja. Tetapi mengapa beliau sering kelaparan, ganjal perut
dengan batu, puasa sunnah niatnya siang hari, shalat sambil duduk
menahan perih perut dan seterusnya.

Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang lagi numpuk, rakyat banyak
yang mulai ngamuk, Negara sedang kere, banyak yang antri beras,
minyak tanah, minyak goreng dll. Maka harga diri kita tidak bisa
diangkat dengan medali emas turnamen olah raga, sewa pemain asing,
banyak ceremonial yang gonta-ganti baju seragam, baju dinas, merek
mobil, proyek mercusuar, dll, dsb, dst

Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah lunas, kelaparan
tidak ada lagi, tidak ada pengamen dan pengemis, angka kriminal rendah, korupsi berkurang, punya posisi tawar terhadap kekuatan global. Maka orang
Deso (alias norak) tidak mampu mengatasi krisis karena tidak bisa
menjadikan krisis sebagai paradigma dalam menyusun APBD dan APBN.
Nah karena yang menyusun orang-orang norak maka asumsi dan paradigma
yang dipakai adalah Negara normal atau bahkan mengikut Negara maju.
Bayangkan ada daerah yang menganggarkan Sepak Bola 17 Milyar
sementara anggaran kesranya 100 juta, wiiieh!

Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat mengerikan
dari atas sampai bawah :


- Orang bisa antri Raskin sambil pegang hp


- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok


- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untk beli tv dan
kulkas


- Orang bule mabuk krn kelebihan uang, Orang kampung mabuk beli
minuman patungan


- Pengemis bisa pake walkman sambil goyang kepala


- Para Pengungsi bisa berjoged dalam tendanya


- Orang beli Gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah


- Ijazah S3 luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang
sempit di cibubur


- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk Mc
Donald


- Kelihatannnya orang penting, ternyata sangat tahu detail dunia
persepakbolaan.


- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin hp


- 63 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja


- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa dansi di
acara tembang kenangan.

Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere,
maka harus bisa tampil keren.
Makin kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya kere.



*) Penulis adalah Putra Indonesia Asli, kini bertempat tinggal di
Paris, Perancis dan bekerja sebagai Pembawa Acara di salah satu
stasiun di Perancis.

No comments:

Post a Comment

 
Blog Design by Pai